selamat datang di blog saya

Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Minggu, 31 Juli 2011

KOMUNITAS ADAT Hukaea-Laea MELAWAN Kekuatan NEGARA

Prakarsa Rakyat, Inisiatif Perlawanan Lokal Simpul Sulawesi Tenggara, Januari-April 2005 Berdasar data tahun 2000 masyarakat adat dari etnis moronene yang masih punya ikatan serumpun (geonologi) tinggal berjumlah 35.100 jiwa . Yang secara geografis tinggal bermukim dan menyebar di bagian selatan wilayah daratan Sulawesi Tenggara dan sebahagian di Pulau Kabaena. Secara administrative pemerintah komunitas adat suku moronene berada pada 8 (delapan) wilayah kecamatan masing-masing 7 (tujuh) kecamatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Bombana (sebelumnya Kabupaten Buton) dan 1 (satu) kecamatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka Perkampungan tua suku Moronene adalah kampung HukaEa dan Laea (dalam tulisan ini ditulis Hukaea-Laea) yang berada dalam wilayah kecamatan Rarowatu Kabupaten Buton (proses pemekaran sejak tahun 2004 menjadi wilayah Kabupaten Bombana Propinsi Sulawesi Tenggara) . Kampung tua HukaEa-Laea sampai tahun 1997 berjumlah 115 kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa sekitar 325 orang. Dari beberapa tulisan dan kesaksian lisan Bapak Prof.Dr. Rauf Tarimana (almarhum) antropolog pertama di Sulawesi Tenggara, menegaskan bahawa Suku Moronene adalah komunitas tertua yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara. Namun dalam perkembangannya masyarakat adat moronene termarginalkan secara politik, ekonomi maupun eksistensi budaya-nya,sehingga masyarakat adat moronene telah menjadi kelompok minoritas di Sulawesi Tenggara. Berdasar data tahun 2000 masyarakat adat dari etnis moronene yang masih punya ikatan serumpun (geonologi) tinggal berjumlah 35.100 jiwa . Yang secara geografis tinggal bermukim dan menyebar di bagian selatan wilayah daratan Sulawesi Tenggara dan sebahagian di Pulau Kabaena. Secara administrative pemerintah komunitas adat suku moronene berada pada 8 (delapan) wilayah kecamatan masing-masing 7 (tujuh) kecamatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Bombana ( sebelumnya Kabupaten Buton) dan 1 (satu) kecamatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka. Masyarakat lokal dari etnis moronene , sebenarnya dari dahulu kala dikenal memiliki karakter yang khas sebagai satu kelompok komunitas adat yang menjujung tinggi nilai-nilai kedamaian, ketenangan dan kesederhanaan. Sehingga setiap ada perselisihan (baca: konflik) dengan pihak lain mereka selalu memilih mengalah dan menghindar mencari tempat hidup yang lain. Cerminan atas karakter yang dimaksud dapat disaksikan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya-nya sehari-hari; (i) pola hidup mereka sangat sederhana dan senang bermukim berkelompok dalam jumlah yang sedikit ( biasanya satu rumupun ), (ii) rumah-rumah mereka lebih banyak dari bahan-bahan bambu yang ada disekitar kebun mereka, (iii) sehingga saat mereka harus menyebar mencari tempat lain untuk menghindari konflik ditempat semula, maka penyedian rumah di tempat baru bagi mereka tidak dijadikan beban atau masaalah, (iii) umumnya komunitas adat moronene senang dengan kegiatan pesta keramaian dengan menggunakan perlengkapan pesta di dominasi oleh warna-warna cerah. Walaupun belum ada hasil penelitian untuk membuktikan, tapi mungkin saja ciri khas dan karakter komunitas adat etnis moronene yang di gambarkan di-atas , menyebabkan ter-singkir-nya generasi-generasi komunitas etnis moronene secara perlahan-lahan dalam percaturan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari masa ke masa. Sangat berbeda jauh dengan posisi dan eksistensi etnis - etnis besar lainnya di Sulawesi Tenggara (seperti: etnis Tolaki, etnis Wolio/Buton, etnis Wuna/Muna) yang generasinya banyak berfungsi, berperan dan punya posisi strategis pada berbagai bidang kehidupan di Sulawesi Tenggara sampai saat ini. Sangatlah ironis, ketika menyelusuri kembali sejarah seperti yang sudah diurai diawal, dimana secara tegas dan tidak-terbantahkan bahwa etnis moronene adalah komunitas masyarakat asli yang tertua mendiami wilayah sulawesi tenggara. Membaca secara kwantitas atas realita-historis tersebut, paling tidak memberi ketegasan dan isyarat kepada kita bahwa generasi pertama dari rumpun etnis moronene-lah yang mempunyai peran, fungsi dan posisi strategis dalam penghidupan masyarakat pada saat itu, disamping itu pastilah rumpun etnis moronene yang memiliki kekuasaan tak terbatas atas wilayah serta sumber-sumber agraria/SDA yang ada di jasirah Sulawesi Tenggara. Karena memang pada kenyataannya sampai saat ini, tidak ada satupun wilayah atau kawasan yang saat ini di di-diami mayoritas etnis-etnis besar lainnya �khsusnya komunitas etnis Tolaki-Konawe dan Tolaki Mekongga serta sebahagian etnis di Pulau Buton dan Muna- yang membantah bahwa leluhur mereka ada kaitan geonologi dengan etnis moronene. Perkampungan tua (disebut Tobu pada masa pemerintahan adat) Hukaea-Laea, memiliki dimensi kesejarahan yang sangat penting bagi perkembangan eksistensi dan identitas komunitas Suku Moronene dimasa-masa selanjutnya , khususnya pada daerah Bombana, Poleang dan Pulau Kabaena yang merupakan wilayah terluas di sebelah selatan jasirah daratan Sulawesi Tenggara. Dari penuturan tetua-adat Butonyang pernah mengalami masa pemerintahan adat zaman kesultanan Buton, memberi kesaksian bahwa pada pada sekitar tahun 1920, Belanda menjadikan kampung Hukaea-Laea sebagai pusat pemerintahan Wakil DISTRIK Rumbia yang membawahi 11 (sebelas) kampung moronene lainnya. Bukti-bukti pendukung lainnya , antara lain dapat dilihat pada sebuah peta topografi yang di buat oleh orang-orang belanda pada tahun 1920-an ketika pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Peta tersebut mengisyaratkan dan menujukkan bahwa sekitar tahun 1800-an perkampungan orang Moronene di Hukaea-Laea (dalam peta disebut LAEA) telah ada dan mejadi pusat penyebaran warga adalah menjadi cikal bakal perkampungan di sekitarnya telah ada. Dan informasi actual yang didapatkan dari dokumen hasil investigasi Yayasan SULUH Indonesia menggambarkan bahwa perkampungan Laea (sekarang Hukaea-Laea) paling tidak telah didiami oleh 6 (enam) generasi. Dan generasi pertama atau orang pertama yang mendiami perkampungan tersebut adalah TABIHI yang bersama KAPITA LAO membangun perkampungan Laea dan sekitarnya dengan menggembalakan kerbau dan berladang sebagai kegiatan utamanya. Areal penggembalaan kerbau dan bekas perladangan mereka - dalam budaya orang Moronene disebut dengan walaka dan waworaha - masih dapat di saksikan sampai saat ini. Dan sampai saat ini, masih dapat dikenali satu orang warga Hukaea-Laea yang merupakan turunan generasi ke�enam dari TABIHI, yaitu Pak BAKATI salah satu tetua adat orang Moronene di Kampung Hukae-Laea sekarang . Sejarah Pengusiran Paksa Etnis Moronene Pada tahun 1953, masyarakat yang berada kampung-kampung dalam wilayah distrik Rumbia termasuk Hukaea-LaEa di evakuasi ke daerah-daerah aman oleh pasukan DI/TI yang menjadikan kampung-kampung mereka sebagai basis penyedian logistik bagi pasukan DI/TI (pemerintah menyebutnya �gerombolan badik�) dan menjadikan kampung Hukae-Laea sebagai basis persembunyian dari serangan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang bermarkaz di Kassipute. Sekitar tahun 1962, setelah kondisi kampung dirasa telah cukup aman mereka kemudian kembali bermukim dan membangun rumah-rumah mereka serta memulai kembali kehidupan sosial-ekomoni dan budayanya seperti sedia kala. Namun pada tahun 1968 pemerintah kembali memindahkan mereka ke daerah yang di sebut langkowala (masih dalam wilayah kecamatan Rumbia) tanpa alasan yang jelas. Tetapi mereka tidak bertahan tinggal di Langkowala, dan secara perlahan dan berangsur-angsur masyarakat kembali bermukim di Hukae-Laea. Tahun 1977, kehidupan tenang dan damai di kampung Hukaea-Laea tiba-tiba harus buyar lagi, karena Pemerintah Kecamatan Rumbia kembali memindahkan mereka ke daerah lain yang disebut Tembe dengan alasan kampung HukaEa-Laea sangat sulit dijangkau oleh sarana transportasi dan komunikasi. Selama penduduk kampung tua Hukaea-Laea tersebut diungsikan, ternyata secara diam-diam pemerintah daerah Sulawesi Tenggara secara sepihak menetapkan wilayah adat mereka sebagai Taman Buru tanpa proses musyawarah dengan masyarakat yang merupakan pemilik sah dari kawasan tersebut. Selain Taman Buru, wilayah adat mereka juga di kuasai oleh salah satu perusahaan nasional yang bergerak di bidang kehutanan yakni PT. Barito Pasifik Timber yang menguasai lahan warga seluas 37.000 Ha untuk dijadikan sebagai lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI). Selanjutnya di tahun 1983 , Gubernur Sulawesi Tenggara membuat rekomendasi tertanggal 5 Mei 1983 No. 522.51/1983 yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan Cq. Direktur jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam yang menjadi dasar penetapan kawasan konservasi Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai melalui SK Menteri Kehutanan RI No.756/Kpts-II/1990. Protes warga atas penyerobotan hak ulayat mereka secara sepihak tersebut, tidak di pertimbangkan oleh pemerintah dan pimpinan proyek Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Tanggal 2 januari 1997, warga yang terus menerus diintimidasi aparat keamanan dan pemerintah karena tetap bertahan di lokasi tersebut terpaksa mengirim surat ke Wakil Presiden Republik Indonesia dengan melampirkan bukti-bukti pendukung yang menunjukkan adanya hak ulayat mereka atas lokasi tersebut. Lagi � lagi surat warga tersebut tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 28 Desember 1977 Pemerintah Daerah Kabupaten Buton dan pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dibantu oleh aparat keamanan dari Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia Kompi A senapan Kaesebo melakukan pengusiran secara paksa disertai dengan pembakaran rumah-rumah penduduk. Upaya perundingan yang dilakukan oleh warga sebelumnya tidak dihargai sama sekali oleh Pemerintah Daerah. Akibat Operasi Sapu Jagad I tersebut, rumah-rumah dan tanaman tumbuh warga musnah terbakar. Warga terpaksa mengungsi ke hutan-hutan disekitar perkampungan mereka. setelah aparat keamanan dan Pemerintah Daerah meninggalkan kampung yang telah terbakar tersebut, warga kembali mendirikan rumah-rumah sederhana dari bamboo dan kayu yang ada disekitar perkampungan. Tanggal 23 Oktober 1998 Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara bersama aparat keamanan yang tergabung dalam Tim Operasi Sapu Jagad II kembali melakukan operasi pengusiran dan pembakaran rumah serta tanaman warga. Selain itu, 12 orang tokoh masyarakat Moronene di tangkap dan dipenjarakan selama 1 tahun 15 hari melalui pengadilan yang imparsial. Kerugian yang derita oleh penduduk teridir atas 115 rumah hangus terbakar dan puluhan hektar tanaman palawija siap panen musnah terbakar. Tanggal 24 November tahun 2000 pemerintah daerah Sulawesi Tenggara dibantu oleh aparat kepolisian dari satuan Brimob Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, Polisi Hutan dan Polisi Pamong Praja kembali menggelar Operasi Sapu Jagad III di LaEa dan HukaEa. Terhitung 25 rumah dirobohkan dengan menggunakan chain saw. Sikap ngotot Pemerintah Daerah ini, menurut keterangan Gubernur pada saat dialog interaktif didasari atas pertimbangan bahwa masyarakat Moronene yang berada di dalam kawasan TNRAW yakni di Kampung Laea-Hukaea membahayakan kawasan konservasi(walau tanpa bukti yang jelas). Selain itu Gubernur juga berpandangan bahwa kewenangan masalah Taman Nasional berada ditangan pemerintah propinsi. Berbeda dengan itu, informasi yang diperoleh dari berbagai sumber mengatakan bahwa di kawasan Taman Nasional terdapat kawasan HTI (Hutan Tanaman Industri) seluas 37.500 Ha milik PT.Barito Pasific Timber�dan informasi lain pula mengatakan bahwa di dalam kawasan Taman Nasional telah lama menjadi areal peternakan kerbau bapak Gubernur Laode kaimuddin. Sedangkan beberapa aktifis di daerah ini meyakini bahwa sikap ngotot Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara untuk mempertahankan kawasan TNRAW adalah bahwa kawasan itu termasuk dalam zona pengembangan ekonomi terpadu yang merupakan program nasional yang ada di Sulawesi Tenggara. Respon Masyarakat Peristiwa yang dialami oleh masyarakat adat moronene Hukaea-Laea ..(operasi sapu jagat II) tahun 1998, 3 bulan setelah tumbangnya rezim pemerintahan ORDE BARU . menghentakkan publik sulawesi tenggara. Sebahagian kelompok masyarakat bahkan tidak percaya bahwa disaat Negara pada situasi transisi memasuki awal reformasi. Di kampung tua yang jauh adari akses informasi terjadi peristiwa tindakan kekerasan dan tidak manusiawi yang dilakukan pemerintah Namun beberapa kelompok mahasiswa, LSM dan Ormas, pengacara , dosen dan beberapa ormas memprotes tindakan pemerintah tersebut. Kampanye melalui media cetak lokal maupun nasional beberapa kali dilakukan. Yang dilakukan dengan terorganisir yakni melalui konferensi pers pada media Kendari Pos, Kendari Ekspress, Tabloid Otonomi, Harian Suara Sultra telah dilakukan sebanyak 5 (lima) kali semenjak kasus ini mencuat hingga sekarang. Sedangkan melalui media cetak nasional yakni melalui harian Kompas, Harian Republika, Harian Suara Pembaharuan, majalah Forum, Majalah GAMMA, Tabloid Bisnis Otonomi, The Jakarta Pos, Kantor Berita Antara dan tabloid Bangkit masing-masing sebanyak 2 (dua) kali dengan cara wawancara mengenai kasus ini di Jakarta.S Perwakilan masyarakat adat Moronene melakukan pertemuan dengan Bapak Marbun SH dan staf dari KOMNAS HAM, Bapak Drs. Mangara Butar-butar dan staf Dirjen Otonomi Daerah departemen Dalam Negeri, Bapak Drs. Widodo dan staf Direktur Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan serta Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Ir. Erna Witular di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar