selamat datang di blog saya

Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Minggu, 31 Juli 2011

KOMUNITAS ADAT Hukaea-Laea MELAWAN Kekuatan NEGARA

Prakarsa Rakyat, Inisiatif Perlawanan Lokal Simpul Sulawesi Tenggara, Januari-April 2005 Berdasar data tahun 2000 masyarakat adat dari etnis moronene yang masih punya ikatan serumpun (geonologi) tinggal berjumlah 35.100 jiwa . Yang secara geografis tinggal bermukim dan menyebar di bagian selatan wilayah daratan Sulawesi Tenggara dan sebahagian di Pulau Kabaena. Secara administrative pemerintah komunitas adat suku moronene berada pada 8 (delapan) wilayah kecamatan masing-masing 7 (tujuh) kecamatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Bombana (sebelumnya Kabupaten Buton) dan 1 (satu) kecamatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka Perkampungan tua suku Moronene adalah kampung HukaEa dan Laea (dalam tulisan ini ditulis Hukaea-Laea) yang berada dalam wilayah kecamatan Rarowatu Kabupaten Buton (proses pemekaran sejak tahun 2004 menjadi wilayah Kabupaten Bombana Propinsi Sulawesi Tenggara) . Kampung tua HukaEa-Laea sampai tahun 1997 berjumlah 115 kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa sekitar 325 orang. Dari beberapa tulisan dan kesaksian lisan Bapak Prof.Dr. Rauf Tarimana (almarhum) antropolog pertama di Sulawesi Tenggara, menegaskan bahawa Suku Moronene adalah komunitas tertua yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara. Namun dalam perkembangannya masyarakat adat moronene termarginalkan secara politik, ekonomi maupun eksistensi budaya-nya,sehingga masyarakat adat moronene telah menjadi kelompok minoritas di Sulawesi Tenggara. Berdasar data tahun 2000 masyarakat adat dari etnis moronene yang masih punya ikatan serumpun (geonologi) tinggal berjumlah 35.100 jiwa . Yang secara geografis tinggal bermukim dan menyebar di bagian selatan wilayah daratan Sulawesi Tenggara dan sebahagian di Pulau Kabaena. Secara administrative pemerintah komunitas adat suku moronene berada pada 8 (delapan) wilayah kecamatan masing-masing 7 (tujuh) kecamatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Bombana ( sebelumnya Kabupaten Buton) dan 1 (satu) kecamatan termasuk dalam wilayah Kabupaten Kolaka. Masyarakat lokal dari etnis moronene , sebenarnya dari dahulu kala dikenal memiliki karakter yang khas sebagai satu kelompok komunitas adat yang menjujung tinggi nilai-nilai kedamaian, ketenangan dan kesederhanaan. Sehingga setiap ada perselisihan (baca: konflik) dengan pihak lain mereka selalu memilih mengalah dan menghindar mencari tempat hidup yang lain. Cerminan atas karakter yang dimaksud dapat disaksikan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan budaya-nya sehari-hari; (i) pola hidup mereka sangat sederhana dan senang bermukim berkelompok dalam jumlah yang sedikit ( biasanya satu rumupun ), (ii) rumah-rumah mereka lebih banyak dari bahan-bahan bambu yang ada disekitar kebun mereka, (iii) sehingga saat mereka harus menyebar mencari tempat lain untuk menghindari konflik ditempat semula, maka penyedian rumah di tempat baru bagi mereka tidak dijadikan beban atau masaalah, (iii) umumnya komunitas adat moronene senang dengan kegiatan pesta keramaian dengan menggunakan perlengkapan pesta di dominasi oleh warna-warna cerah. Walaupun belum ada hasil penelitian untuk membuktikan, tapi mungkin saja ciri khas dan karakter komunitas adat etnis moronene yang di gambarkan di-atas , menyebabkan ter-singkir-nya generasi-generasi komunitas etnis moronene secara perlahan-lahan dalam percaturan kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari masa ke masa. Sangat berbeda jauh dengan posisi dan eksistensi etnis - etnis besar lainnya di Sulawesi Tenggara (seperti: etnis Tolaki, etnis Wolio/Buton, etnis Wuna/Muna) yang generasinya banyak berfungsi, berperan dan punya posisi strategis pada berbagai bidang kehidupan di Sulawesi Tenggara sampai saat ini. Sangatlah ironis, ketika menyelusuri kembali sejarah seperti yang sudah diurai diawal, dimana secara tegas dan tidak-terbantahkan bahwa etnis moronene adalah komunitas masyarakat asli yang tertua mendiami wilayah sulawesi tenggara. Membaca secara kwantitas atas realita-historis tersebut, paling tidak memberi ketegasan dan isyarat kepada kita bahwa generasi pertama dari rumpun etnis moronene-lah yang mempunyai peran, fungsi dan posisi strategis dalam penghidupan masyarakat pada saat itu, disamping itu pastilah rumpun etnis moronene yang memiliki kekuasaan tak terbatas atas wilayah serta sumber-sumber agraria/SDA yang ada di jasirah Sulawesi Tenggara. Karena memang pada kenyataannya sampai saat ini, tidak ada satupun wilayah atau kawasan yang saat ini di di-diami mayoritas etnis-etnis besar lainnya �khsusnya komunitas etnis Tolaki-Konawe dan Tolaki Mekongga serta sebahagian etnis di Pulau Buton dan Muna- yang membantah bahwa leluhur mereka ada kaitan geonologi dengan etnis moronene. Perkampungan tua (disebut Tobu pada masa pemerintahan adat) Hukaea-Laea, memiliki dimensi kesejarahan yang sangat penting bagi perkembangan eksistensi dan identitas komunitas Suku Moronene dimasa-masa selanjutnya , khususnya pada daerah Bombana, Poleang dan Pulau Kabaena yang merupakan wilayah terluas di sebelah selatan jasirah daratan Sulawesi Tenggara. Dari penuturan tetua-adat Butonyang pernah mengalami masa pemerintahan adat zaman kesultanan Buton, memberi kesaksian bahwa pada pada sekitar tahun 1920, Belanda menjadikan kampung Hukaea-Laea sebagai pusat pemerintahan Wakil DISTRIK Rumbia yang membawahi 11 (sebelas) kampung moronene lainnya. Bukti-bukti pendukung lainnya , antara lain dapat dilihat pada sebuah peta topografi yang di buat oleh orang-orang belanda pada tahun 1920-an ketika pertama kali menginjakkan kaki di daerah ini. Peta tersebut mengisyaratkan dan menujukkan bahwa sekitar tahun 1800-an perkampungan orang Moronene di Hukaea-Laea (dalam peta disebut LAEA) telah ada dan mejadi pusat penyebaran warga adalah menjadi cikal bakal perkampungan di sekitarnya telah ada. Dan informasi actual yang didapatkan dari dokumen hasil investigasi Yayasan SULUH Indonesia menggambarkan bahwa perkampungan Laea (sekarang Hukaea-Laea) paling tidak telah didiami oleh 6 (enam) generasi. Dan generasi pertama atau orang pertama yang mendiami perkampungan tersebut adalah TABIHI yang bersama KAPITA LAO membangun perkampungan Laea dan sekitarnya dengan menggembalakan kerbau dan berladang sebagai kegiatan utamanya. Areal penggembalaan kerbau dan bekas perladangan mereka - dalam budaya orang Moronene disebut dengan walaka dan waworaha - masih dapat di saksikan sampai saat ini. Dan sampai saat ini, masih dapat dikenali satu orang warga Hukaea-Laea yang merupakan turunan generasi ke�enam dari TABIHI, yaitu Pak BAKATI salah satu tetua adat orang Moronene di Kampung Hukae-Laea sekarang . Sejarah Pengusiran Paksa Etnis Moronene Pada tahun 1953, masyarakat yang berada kampung-kampung dalam wilayah distrik Rumbia termasuk Hukaea-LaEa di evakuasi ke daerah-daerah aman oleh pasukan DI/TI yang menjadikan kampung-kampung mereka sebagai basis penyedian logistik bagi pasukan DI/TI (pemerintah menyebutnya �gerombolan badik�) dan menjadikan kampung Hukae-Laea sebagai basis persembunyian dari serangan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang bermarkaz di Kassipute. Sekitar tahun 1962, setelah kondisi kampung dirasa telah cukup aman mereka kemudian kembali bermukim dan membangun rumah-rumah mereka serta memulai kembali kehidupan sosial-ekomoni dan budayanya seperti sedia kala. Namun pada tahun 1968 pemerintah kembali memindahkan mereka ke daerah yang di sebut langkowala (masih dalam wilayah kecamatan Rumbia) tanpa alasan yang jelas. Tetapi mereka tidak bertahan tinggal di Langkowala, dan secara perlahan dan berangsur-angsur masyarakat kembali bermukim di Hukae-Laea. Tahun 1977, kehidupan tenang dan damai di kampung Hukaea-Laea tiba-tiba harus buyar lagi, karena Pemerintah Kecamatan Rumbia kembali memindahkan mereka ke daerah lain yang disebut Tembe dengan alasan kampung HukaEa-Laea sangat sulit dijangkau oleh sarana transportasi dan komunikasi. Selama penduduk kampung tua Hukaea-Laea tersebut diungsikan, ternyata secara diam-diam pemerintah daerah Sulawesi Tenggara secara sepihak menetapkan wilayah adat mereka sebagai Taman Buru tanpa proses musyawarah dengan masyarakat yang merupakan pemilik sah dari kawasan tersebut. Selain Taman Buru, wilayah adat mereka juga di kuasai oleh salah satu perusahaan nasional yang bergerak di bidang kehutanan yakni PT. Barito Pasifik Timber yang menguasai lahan warga seluas 37.000 Ha untuk dijadikan sebagai lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI). Selanjutnya di tahun 1983 , Gubernur Sulawesi Tenggara membuat rekomendasi tertanggal 5 Mei 1983 No. 522.51/1983 yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan Cq. Direktur jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam yang menjadi dasar penetapan kawasan konservasi Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai melalui SK Menteri Kehutanan RI No.756/Kpts-II/1990. Protes warga atas penyerobotan hak ulayat mereka secara sepihak tersebut, tidak di pertimbangkan oleh pemerintah dan pimpinan proyek Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Tanggal 2 januari 1997, warga yang terus menerus diintimidasi aparat keamanan dan pemerintah karena tetap bertahan di lokasi tersebut terpaksa mengirim surat ke Wakil Presiden Republik Indonesia dengan melampirkan bukti-bukti pendukung yang menunjukkan adanya hak ulayat mereka atas lokasi tersebut. Lagi � lagi surat warga tersebut tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 28 Desember 1977 Pemerintah Daerah Kabupaten Buton dan pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dibantu oleh aparat keamanan dari Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia Kompi A senapan Kaesebo melakukan pengusiran secara paksa disertai dengan pembakaran rumah-rumah penduduk. Upaya perundingan yang dilakukan oleh warga sebelumnya tidak dihargai sama sekali oleh Pemerintah Daerah. Akibat Operasi Sapu Jagad I tersebut, rumah-rumah dan tanaman tumbuh warga musnah terbakar. Warga terpaksa mengungsi ke hutan-hutan disekitar perkampungan mereka. setelah aparat keamanan dan Pemerintah Daerah meninggalkan kampung yang telah terbakar tersebut, warga kembali mendirikan rumah-rumah sederhana dari bamboo dan kayu yang ada disekitar perkampungan. Tanggal 23 Oktober 1998 Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara bersama aparat keamanan yang tergabung dalam Tim Operasi Sapu Jagad II kembali melakukan operasi pengusiran dan pembakaran rumah serta tanaman warga. Selain itu, 12 orang tokoh masyarakat Moronene di tangkap dan dipenjarakan selama 1 tahun 15 hari melalui pengadilan yang imparsial. Kerugian yang derita oleh penduduk teridir atas 115 rumah hangus terbakar dan puluhan hektar tanaman palawija siap panen musnah terbakar. Tanggal 24 November tahun 2000 pemerintah daerah Sulawesi Tenggara dibantu oleh aparat kepolisian dari satuan Brimob Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, Polisi Hutan dan Polisi Pamong Praja kembali menggelar Operasi Sapu Jagad III di LaEa dan HukaEa. Terhitung 25 rumah dirobohkan dengan menggunakan chain saw. Sikap ngotot Pemerintah Daerah ini, menurut keterangan Gubernur pada saat dialog interaktif didasari atas pertimbangan bahwa masyarakat Moronene yang berada di dalam kawasan TNRAW yakni di Kampung Laea-Hukaea membahayakan kawasan konservasi(walau tanpa bukti yang jelas). Selain itu Gubernur juga berpandangan bahwa kewenangan masalah Taman Nasional berada ditangan pemerintah propinsi. Berbeda dengan itu, informasi yang diperoleh dari berbagai sumber mengatakan bahwa di kawasan Taman Nasional terdapat kawasan HTI (Hutan Tanaman Industri) seluas 37.500 Ha milik PT.Barito Pasific Timber�dan informasi lain pula mengatakan bahwa di dalam kawasan Taman Nasional telah lama menjadi areal peternakan kerbau bapak Gubernur Laode kaimuddin. Sedangkan beberapa aktifis di daerah ini meyakini bahwa sikap ngotot Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara untuk mempertahankan kawasan TNRAW adalah bahwa kawasan itu termasuk dalam zona pengembangan ekonomi terpadu yang merupakan program nasional yang ada di Sulawesi Tenggara. Respon Masyarakat Peristiwa yang dialami oleh masyarakat adat moronene Hukaea-Laea ..(operasi sapu jagat II) tahun 1998, 3 bulan setelah tumbangnya rezim pemerintahan ORDE BARU . menghentakkan publik sulawesi tenggara. Sebahagian kelompok masyarakat bahkan tidak percaya bahwa disaat Negara pada situasi transisi memasuki awal reformasi. Di kampung tua yang jauh adari akses informasi terjadi peristiwa tindakan kekerasan dan tidak manusiawi yang dilakukan pemerintah Namun beberapa kelompok mahasiswa, LSM dan Ormas, pengacara , dosen dan beberapa ormas memprotes tindakan pemerintah tersebut. Kampanye melalui media cetak lokal maupun nasional beberapa kali dilakukan. Yang dilakukan dengan terorganisir yakni melalui konferensi pers pada media Kendari Pos, Kendari Ekspress, Tabloid Otonomi, Harian Suara Sultra telah dilakukan sebanyak 5 (lima) kali semenjak kasus ini mencuat hingga sekarang. Sedangkan melalui media cetak nasional yakni melalui harian Kompas, Harian Republika, Harian Suara Pembaharuan, majalah Forum, Majalah GAMMA, Tabloid Bisnis Otonomi, The Jakarta Pos, Kantor Berita Antara dan tabloid Bangkit masing-masing sebanyak 2 (dua) kali dengan cara wawancara mengenai kasus ini di Jakarta.S Perwakilan masyarakat adat Moronene melakukan pertemuan dengan Bapak Marbun SH dan staf dari KOMNAS HAM, Bapak Drs. Mangara Butar-butar dan staf Dirjen Otonomi Daerah departemen Dalam Negeri, Bapak Drs. Widodo dan staf Direktur Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan serta Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Ir. Erna Witular di Jakarta.

Tari Lulo

Tari Lulo adalah tarian masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara. Pada awalnya, tari ini diadakan dalam rangka pesta perkawinan, syukuran panen, dan acara-acara khusus lainnya. Tujuannya adalah sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi dan tidak jarang juga dimanfaatkan sebagai ajang untuk mencari jodoh. Namun pada perkembangannya, tarian ini juga diadakan ketika ada pejabat atau tamu penting yang datang berkunjung ke Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam tarian ini, dihadirkan penari-penari cantik yang mendampingi sekaligus membimbing para pejabat atau tamu penting untuk ikut serta menari. Dahulu kala, ketika Tari Lulo menjadi sarana untuk mencari jodoh, terdapat tata atur yang sangat ketat. Ketika akan masuk ke dalam arena tarian misalnya, para penari harus masuk dari depan dan tidak diperbolehkan masuk dari belakang. Selain itu, ketika akan mengajak calon pasangan untuk menari, terutama pasangan pria yang mencari pasangan wanita, hendaknya mencari wanita yang sedang berpasangan dengan wanita. Jadi, seorang pria tidak diperbolehkan mengajak seorang wanita yang sudah berpasangan dengan pria lain. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kesalahpahaman ketika tarian berlangsung. Ada juga aturan lain yang cukup menarik untuk diketahui, seperti ketika terjadi penolakan dari calon pasangan. Apabila seorang pria yang mencari pasangan ditolak oleh si wanita, maka pria tersebut dikenai denda adat, yaitu seekor kerbau ditambah dua lembar sarung (toloa). Akan tetapi, denda ini tidak berlaku sebaliknya kepada pihak wanita. Seiring perjalanan waktu, tata atur yang berlaku dalam tarian ini sudah mulai ditinggalkan. Tari Lulo memiliki gerakan yang sederhana dan teratur, sehingga memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk melakukannya. Biasanya, tarian ini dilakukan dengan gerakan yang teratur dan berputar dalam satu lingkaran sembari mengikuti irama musik yang mengiringinya. Tari Lulo dilakukan dengan suka ria sembari bergoyang dan saling bergandengan tangan antara satu penari dengan penari lainnya. Jari-jemari saling berkaitan dengan pasangan di sampingnya, sehingga telapak tangan saling bertemu dengan posisi telapak tangan pria berada di bawah telapak tangan wanita. Ini dilakukan supaya gerakan tari bisa berjalan secara harmonis, dan bagian atas tubuh wanita tidak tersentuh oleh pasangannya ketika menari.

Asal usul penduduk asli Konawe dan Mekongga (Cikal Bakal Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga)

Penduduk asli yang mendiami Kerajaan Konawe dan Mekongga adalah suku Tolaki. Untuk mengetahui asal usul persebarannya, maka berikut akan dikemukakan beberapa sumber:
Menurut Prof. Drs. Rustam E. Tamburaka, M.A. (1989), bila dilihat dari ciri-ciri antropologisnya baik Chepaliks index, mata, rambut, maupun warna kulit, suku Tolaki memiliki kesamaan dengan ras Mongoloid. Diduga berasal dari Asia Timur, mungkin dari Jepang dan kemudian disebarkan keselatan melalui kepulauan Riukyu, Taiwan, Philipina. Ada juga yang mengatakan bahwa perpindahan pertama berasal dari Yunan (RRC) ke selatan Philipina, Sulawesi Utara ke pesisir timur Halmahera. Pada saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk melalui muara sungai Lasolo dan Konawe yang dinamakan Andolaki.
Namun ada juga yang berpendapat lain yang mengatakan bahwa: ‘pemusatan penduduk di sulawesi bagian tiur adalah di daerah danau Matana, Mahalona dan Towuti. Dan ada juga yang mengatakan bahwa gelombang penyebaran penduduk di Sulawesi Tengah, timur dan Tenggara adalah sekita danau Matana” (Monografi, 1976).
Dr. Albert C. Kruyt (orang Belanda) mengemukakan bahwa: suku Tolaki mempunyai pertalian erat dengan suku-suku Malili di daerah Mori, hampir pasti bahwa perpindahannya dari utara menuju ke selatan menempati dan menduduki tempat sekarang ini dengan menyusuri sungai lasolo yang dalam sumbernya terdapat danau Towuti. (Lakebo, 1986)
Secara umum penyebaran penduduk di nusantara ini menurut para ahli bahwa datang secara bergelombang dari Gobi, Yunan dan Indo China melalui semenanjung Malaka, seterusnya menyebar ke daerah selatan dan timur yang di antaranya telah membawa beberapa suku bangsa yang mendiami Sulawesi.
Sebelum kedatangan mereka di Sulawesi, telah di dapatkan penduduk antara lain: Tokira, Towuna, Toala, dan Towana. Diduga bahwa bagian suku-suku bangsa yang merupakan unsur proto Melayu ialah orang-orang Katobengke di Muna dan orang Moronene, orang Toaere di daratan Sulawesi Tenggara (Monografi, 1976).
Tradisi orang Tolaki memberi petunjuk bahwa penghuni pertama daratan Sulawesi Tenggara adalah Toono Peiku (ndoka) yang hidup dalam gua-gua dan makanannya adalah Sekam (Burnahuddin, 1973 : 53)
Orang Tolaki pada umumnya menamakan dirinya Tolahianga yang artinya orang dari langit, yaitu dari Cina. Kalau demikian istilah Hiu dalam bahasa Cina artinya langit dihubungkan dengan kata Heo (Oheo) bahasa Tolaki yang berarti terdampar atau ikut pergi ke langit (Tarimana, 1985).
Pendapat tersebut diatas erat kaitannya dengan cerita rakyat tentang Oheo, yang menceritakan bahwa nenek moyang orang Tolaki berasal dari pulau jawa yakni dari kaki gunung arjuna kemudian kawin dengan Anawai Ngguluri salah seorang dari tujuh gadis bidadari bersaudara dari langit (Asrul Tawulo, 1987).
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas tentang asal usul dan persebaran orang Tolaki mendiami daratan Sulawesi Tenggara menceritakan tentang kedatangan penduduknya yang pertama menghuni daratan Sulawesi Tenggara,. Pemukiman pertama orang tolaki berada dihulu sungai Konaweeha yaitu rombongan yang melalui daerah mori dan bungku bagian timur laut sulawesi. Sedangkan rombongan lain melalui danau Towuti dan terus ke arah selatan. Kemudian kedua rombongan ini bertemu disuatu tempat yang disebut Rahambuu dan tinggal beberapa lama. Kemudian mereka terbagi dua, serombongan mengikuti lerenng gunung Watukila lalu membelok ke arah barat daya sehingga sampailah mereka disuatu tempat yang mereka namakan Lambo, Laloeha, dan Silea. Merekan inilah yang kemudian menakamakan diri orang Mekongga dan menempati wilayah Kolaka sekarang. Sedangkan yang serombongan lagi terus mengikuti kali Konaweeha dan tiba disuatu tempat yang dinamakan Andolaki, sampai mereka tiba disuatu tempat yang luas yang ditumbuhi alang-alang dan tempat ini mereka namakan Unaaha. Tempat ini kemudian menjadi pusat pemeritahan Kerajaan Konawe yang wilayahnya meliputi seluruh wilayah Kabupaten Kendari.
Dari padang alang-alang yang luas inilah suku tolaki berkembang biak dan menyebarkan wilayah pemukiman mereka dengan cara menempati daerah-daerah yang subut untuk berlandang, berburu, beternak dan selanjutnya rombongan ini menamakan diri sebagai orang tolaki konawe.
Lahirnya kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga, masa perkembangan sampai masa keruntuhannya akan di bahas pada postingan saya selanjutnya...

Sejarah Kolaka Tahun 1906 - 1942

Judul Buku : Kota Pelabuhan Kolaka di Teluk Bone, 1906 – 1942 (Kajian Sejarah Sosial-Ekonomi)
Penulis: Basrin Melamba, S.Pd, M.A (Dosen Tetap Ilmu Sejarah di Program Studi Sejarah FKIP Unhalu Kendari)
Kata Pengantar: Adrian B. Lapian (Pakar Sejarah Maritim)
Penerbit: Pustakan Larasan, Bekerja Sama dengan Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unhalu dan LPPSK Sultra
Tebal Buku: xvii+278 halaman (14x21 cm)
ISBN: 978-979-3790-55-8
Cetakan Pertama: Januari 2011
Harga Khusus Hubungi: 085341518871

Selama ini Historiografi yang ada di Sulawesi Tenggara kurang memperhatikan sejarah kolaka. Buku ini akan merubah pandangan anda tentang sejarah Kolaka karena penulis bukan hanya berhasil mengungkapkan eksistensi Kolaka sebagai kota pelabuhan yang berbasis ekonomi dan perdagangan yang berdampak pada perkembangan kota tersebut, baik itu pemukiman, penduduk, dan fisik kota Kolaka. Akan tetapi, juga bagaimana hubungannya dengan kota-kota di kawasan Teluk Bone pada masa lalu.

Dengan buku ini kita dapat mengetahui dinamika sosial-ekonomi di awasan Teluk Bone dengan fokus perhatian terhadap Kolaka di pantai timur teluk ini. Jadi, berbeda dengan studi-studi terdahulu yang lebih terpusat kepada Kerajaan Bone dan Kerajaan Luwu, kini kita diajak melihat ke pantai timur yang dahulu merupakan basis dari Kerajaan Mekongga. Tentu saja dinamika kehidupan teluk dimungkinkan bila telah bertumbuh suatu kebudayaan bahari yang menyebabkan adanya lalu lintas yang ramai di kawasan ini.

MASUKNYA AGAMA ISLAM DI KERAJAAN MEKONGGA

Pada masa pemerintahan Bokeo Teporambe agama Islam mulai masuk di Kerajaan Mekongga yang dibawa oleh para pedagang dari Sulawesi Selatan. Selain itu ada juga utusan khusus dari Kerjaan Luwu yang datang membawa Islam, diperkirakan pada masa pemerintahan Datu Pati Arase di kerajaan Luwu yang digelar Petta Latinroe di Pattinrang sekitar abad ke-XVI.
Meskipun agama islam sudah masuk, tetap sampai Bokeo Teporambe meninggal dunia tidak masuk islam, sebagaimana dikemukakan beberapa sumber. Bokeo Teporambe kawin dengan Weheuka sehingga lahirlah Ponggokori, setelah ayahnya meninggal, maka nama anaknya diganti menjadi Lelemala. Setelah ayahnya Buburanda meninggal maka Lelemala menggantikan ayahnya menjadi Bokeo di Kerajaan Mekongga. Sekitar akhir abad ke XVI Lelemala memeluk agama islam yang dibawa oleh utusan dari sultan buton yang bernama La Embo.
Pada saat Lelemala memeluk islam beliau mengganti namanya menjadi Laduma, yang mempunyai arti La berarti laki-laki sedangkan Duma berarti Jum’at, dengan arti seorang laki-laki memeluk agama islam pada hari jum’at. Setelah Laduma meninggal dia diberi gelar Sangia Nibandera.
Pada masa pemerintahan Bokeo Laduma wilayah kekuasaan kerajaan mekongga semakin luas, sebab penduduk mekongga semakin banyak sehingga semakin banyak yang mendiami wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan mekongga semakin luas ditambah dengan wilayah pemberian neneknya yakni tanah disebelah barat yang berbatasan dengan Teluk Bone dimulai dari Pasikala sampai Lapawawu/Tamboli.
Di masa pemerintahan Mekongga, agama islam sudah mulai berkembang dengan pesatnya, dimana beliau menerima utusan dari datu luwu yaitu opu daeng masaro yang datang ke mekongga dalam rangka mengajarkan dasar-dasar dan pandangan islam sekaligus mengislamkan Bokeo Laduma oleh Datu luwu. Setelah lama memeluk agama islam kerajaan mekongga semakin makmur sehingga mengherankan kalau pada saat beliau memerintah kerajaan mekongga mencapai puncak kejayaannya.
Bokeo Laduma berusaha menyebarkan islam ke seluruh pelosok kerajaan. Disamping itu beliau juga mendatangkan guru-guru agama dari kerajaan Luwu, bahkan diantara mereka banyak yang menikah dengan putri atau kerajaan sehingga semakin eratlah hubungan kedua kerajaan tersebut. Sehingga pada akhir abad ke-17 seluruh rakyat mekongga dinyatakan telah memeluk agama islam.
Disamping itu hubungan kerajaan mekongga dengan kerajaan-kerajaan tetangga semakin dipererat khususnya dengan kerajaan luwu. Hal ini terjadi ketika kerajaan mekongga membantu kerajaan luwu dalam perang melawan kerjaan soppeng. Dikisahkan bahwa pada waktu itu luwu tidak dapat mengalahkan soppeng sebaliknya soppeng hampir mengalahkan luwu. Disaat kebingungan datu luwu teringat akan kesaktian yang dimiliki Laduma. Datu Luwu lalu memohon kepada Mincarangapa dan mengundang Laduma untuk datang ke Luwu dalam rangka membantu luwu perang melawan soppeng. “atas bantuan kerajaan mekongga maka kerajaan luwu dapat memenangkan peperangan tersebut yang diperkirakan terjadi pada tahun 1679, dikala Lelemala (Laduma) berusia 59 tahun atau tepatnya 9 tahun beliau memerintah, dan sebagai tanda terima kasih serta penghargaannya kepada raja Laduma dan segenap rakyat mekongga maka datu luwu (datu alimuddin kemudian menyerahkan sebuah bendera Merah Putih Bertuliskan huruf-huruf al-qur’an, gambar bintang dan benda tajam (Munaser, 1994).
Setelah beliau kembali di mekongga maka diadakanlah doa syukuran dengan mengundang segenap rakyat dan aparat pemerintah, maka dikukuhkanlah Bokeo Laduma dengan gelar “Sangia Nibandera” yang berarti dewa yang diberi bendera dan bendera pembawa kemenangan. Dengan demikian semakin eratlah hubungan antara dua kerajaan sehingga seringkali orang mekongga mengucapkan bahwa Susano O luwu susano mekongga, artinya susahnya Luwu, maka susahnyajuga mekongga.
Guna menyebarkan agama islam, maka Bokeo Laduma mendatangkan guru-guru agama islam dari luwu, bone, gowa dan buton. Disamping ada juga banyak pedagang-pedagang dari keempat kerajaan tetangga yang keluar masuk kerajaan mekongga untuk berdagang sambil menyabarkan agama islam khususnya di daerah-daerah pesisir pantai.
Pengiriman guru-guru agama terus berlanjut. Meskipun Laduma sudah meninggal namun pengiriman guru-guru agama tetap berlanjut. Diantara guru agama tersebut ada yang kawin dengan keluarga raja-raja di mekongga diantaranya Opu Daeng Mapuji atau Opu Palinrungan. Matano Opu Daeng mapuji mempersunting putri Bokeo Robe yang bernama Wedasa.

Kerajaan Mekongga

Kerajaan Mekongga
Latar belakang berdirinya kerajaan mekongga di daratan sulawesi tenggara ada suatu tradisi atau cerita rakyat yang pernah berkembang di daerah kolaka yang pada saat sebelum berdirinya kerajaan mekongga disebut wonua sorume (negeri anggrek), karena wilayahnya banyak ditumbuhi bermacam-macam anggrek pada zaman itu. Di mana anggrek (sorume) sangat dibutuhkan oleh masyarakat mekongga, sehingga daerah ini disebut wonua sorume (negeri anggrek). Wonua sorume merupakan daerah yang sangat subur, sehingga itulaj sebabnya pada saat penduduk pertama tiba di daerah ini yang berasal dari utara yaitu daerah pedalaman sekitar danai matano dan mahalona melalui daerah mori dan bungku kemudian bergerak ke bagian selatan danau towuti terus menuju ke arah selatan dan akhirnya bermukim di hulu sungai konaweeha.

Disana mereka bermukim untuk sementara waktu dan tempat bermukim mereka itu disebut andolaki yang artinya tempat tinggal orang/suku tolaki. Dari tempat itulah mereka terbagi dua serombongan kemudian melanjutkan perjalanan mengikuti sungai besar yaitu sungai konaweeha sambil mendesak penduduk asli yaitu orang-orang moronene, rombongan inilah yang dikenal sebagai suku tolaki konawe atau to konawe. Kemudian serombongan lagi mengikuti lereng pegunungan mekongga, lalu membelok ke arah barat daya menyusuri sungai-sungai kecil hingga tibalah mereka di tempat yang bari mereka namakan wonua sorume, rombongan inilah yang dikenal sebagai suku tolaki mekongga atau to mekongga. Mereka lalu membentuk kelompok masyarakat dan menempati daerah ini. Namun oleh karena keturunan mereka makin lama makin banyak, maka mulailah mereka mencari daerah- daerah baru sebagai tempat permukimannya dan setelah menemukannya, mereka lalu mengolahnya untuk dijadikan daerah peladangan yang disebut mondau. Dan sistem kelompok usaha ladang ini merekan namakan metobu. Arti istilah metobu inilah lahir suatu komunitas kecil yang disebut tobu, yaitu wilayah pemukiman yang sama kedudukannya dengan kampung atau desa. Sehingga dari usaha perladangan inilah sehingga terbentuk beberapa tobu yang dipimpin oleh seorang Toono Motuo (orang tua) yang terdiri dari 7 wilayah toono motuo (Munaser, 1994 : 4), yaitu:

1. Toono motuo puuehu (wundulako)
2. Toono motuo tikonu
3. Toono motuo puundoho/baula
4. Toono motuo sabilambo
5. Toono motuo laloeha/lalombaa
6. Toono motuo poondui
7. Toono motuo lambo

Ketujuh tobu/toono motuo tersebut diatas adalah merupakan kampung atau tempat tinggal pertama kelompok masyarakat mekongga sebelum terbentuk menjadi sebuah kerajaan.

Dari tradisi yang berkembang pada masyarakat mekongga bahwa saat itu hiduplah seekor burung raksasa yang dinamakan KONGGAAHA. Istilah konggaha berarti elang besar (kongga). Konon cerintany burung elang tersebut besarnya tujuh kasi lipat kerbau putih (kerbau pute). Burung tersebut sangat buas, karena disamping memakan kewan seperti kerbau, juga memangsa manusia. Dari cerita inilah dinamakan kerjaan mekongga, karena daerah ini merupakan tempat terbunuhnya burung kongga tersebut. Mekongga mempunyai arti dalam bahasa tolaki, sbb:

- Kata ‘Me’ : berarti melakukan suatu kegiatan
- Sedangkan ‘Kongga’ : nama burung (elang)

Jadi mekongga berarti melakukan kegiatan membunuh burung elang/ kegiatan memburu elang besar (kongga owose). Bahkan sampai sekarang di daerah kecamatan Wundulako ada sebuah desa dan sungai diberi nama sungai Lamekongga. Semua pernghuni dari ketuju tobu/toonomotuo tersebut merasa terancam dan selalu dicekam rasa takut. Telah banyak cara yang dilakukan untuk membunuh burung kongga tersebut, namun selalu sia-sia.

Bersamaan dengan itu pada awal abad ke –X, disuatu bukit yang bernama bukit kolumba yang terletak di desa Balandete sekarang, telah turun seorang laki-laki dan perempuan kakak-beradik. Mereka mengendari sarung besar (toloa mbekadu) atau sawuuha yang turunnya bersamaan dengan berhembusnya angin yang sangat kuat. Mereka adalah larumpalangi dan wekoila yang kelak menjadi anakiano wonua (bangsawan yang memimpin negeri). Masyarakat tolaki percaya bahwa mereka berdua adalah merupakan titisan dewata yang agung, sehingga mereka dianggap sebagai dewa.

Kedatangan mereka berdua sangat cepat diketahui oleh para toonomotuo sehingga ketujuh pemimpin tobu tersebut bersepakan dan mengadakan musyawarah untuk menemui larumpalangi dan menceritakan tentang kebuasan burung elang besar (konggaaha) yang sangat meresahkan mereka selama puluhan tahun.

Permohonan ke tuhjuh toonomotuo tetrsebut diterima baik oleh larumpalangi dan dilaksanakan pembunuhan konggaaha, denga kesepakan bahwa:
1. Setiap masyarakat penghuni tobu menyadiakan bambu runcing (o sungga)
2. Disiapkan seorang manusia sebagai umpan
3. Sebuah pohon ditatah dahannya sebagai tempat larumpalangi berdiri
4. Disiapkan gong, lesung dan alat bunyi-bunyian lainnya yang akan dipukul untuk menarik perhatian burung konggaaha
5. Perempuan dan anak-anak mencari perlindungan sedangkan laki-laki dewasa harus siap dengan segala peralatan (Munaser, 1994:6).

Berkat strategi dan taktik yang dilakukan larumpalangi, maka burung konggaaha tersebut dapat dibunuh. Maka dengan terbunuhnya konggaja, maka bersepakatlah ketujuh toonomotuo penghulu tobu untuk mengangkat larumpalangi menjadi pemimpin mereka dan selanjutnya dikukuhkan menjadi raja pertama di mekongga dan bergelar sangia larumpalangi. Dan ketujuh daerah toonomotuo tersebut kelak menjadi daerah istimewa dan mempunyai hak untuk turut serta dalam memusyawarakan pemilihan dan pelantikan raja. Sejak saat itulah terbentuknya suatu kerjaan di daratan sulawesi tenggara yang bernama wonua sorume yang kemudian menjadi kerjaan mekongga. Pemberian nama kerjaan mekongga adalah untuk mengingat suatu peristiwa yang sangat bersejarah pada masyarakat tolaki di kolaka.

Pada saat musyawarah untuk mengangkat larumpalangi sebagai raja di kerjaan mekongga dilakukan kesepakatan antara para toonomotuo dengan larumpalangi. Adapun kesepakatan tersebut adalah sbb:
1. Wilayah-wilayah yang terpisah-terpisah hendaklah menjadi satu kesatuan yang kokoh dan bulat.
2. Orang banyak hendaklah selalu bersatu dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpecah belah seperti sebelumnya.
3. Bahwa ia sebagai pemimpin orang banyak, iepo nomosele kaeno keno onggo mongga; arinya barulah tangannya basah kalau ia hendak makan, maksudnya bahwa urusan-urusan pemerintahan baru disodorkan kepadanya kalau telah dimatangkan oleh orang banyak, tugasnya bahwa segala sesuatu hendaklah atas kehendak orang banyak barulah ia akan melaksanakannya.
4. Pengangkatannya sebagai pemimpin adalah atas kehendak orang banyak, bukan karena kekerasan.

Bahwasannya persatuan orang banyak merupakan suatu kesatuan daerah (wonua) yang mempunyai wilayah tertentu yang diberi nama wonua atau lipu (mekongga) demi untuk memperingati peristiwa pembunuhan konggaowose (Dokumenta, 1967).
Dengan menggunakan nama mekongga sebagai nama negeri kekuasaannya, diharapkan kelak generasi berikutnya akan selalu mengingat bahwa daerah yang perna terpecah belah karena adanya wilayah yang dikuasai oleh para toono sudah bersatu menjadi satu kesatuan.

Walaupun larumpalangi keturunan to manurung, namun beliau telah membawa rakyatnya hidup aman dan makmur selama beberapa waktu lamanya, yang kemudian digantikan oleh tomanuru-tomauru lainnya. Berapa lama mereka memerintah tidak diketahui dengan pasti sebab tidak ada data maupun petunjuk sebagai bukti.
Oleh karena kerajaan mekongga terletak dipedalaman jauh dari pesisir pantai, maka masyarakatnya menggantungkan hidupya dari pertanian dengan cara Mondaui. Hal ini disadari oleh larumpalangi sehingga disuruhlah saudaranya yang bernama Wasasi Wasabenggali dari kerjaan Luwu untuk mengajarkan cara-cara bertani yang baik guna memperoleh hasil yang banyak demi kemakmuran rakyatnya.

Pusat pemerintahan kerjaan mekongga pada mulanya berpusat di Kolumba, Ulu Balandete kurang lebih 6 Km dari kolaka sekarang. Pusat kerjaan kemudian berpindah ke Puehu yakni daerah Wundulako sekarang.

Pada postingan selanjutnya akan dibahas lagi mengenai struktur pemerintahan dan perkembangan kerajaan mekongga sampai tenggelamnya...

MENUJU KERAJAAN JIN MEKONGGA

MENUJU KERAJAAN JIN MEKONGGA

28 Oktober 2001 Gunung Mekongga, gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara, tak banyak dikenal. Namun, menarik untuk didaki dan disimak cerita misterinya, terutama tentang kerajaan jinnya.

Sore awal Agustus lalu , rombongan kami tiba di desa Tinukari, kecamatan Ranteangin, kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Desa kecil itu terletak 300 kilometer sebelah barat daya kota Kendari.

Matahari sudah tenggelam dan sayup-sayup di kejauhan terdengar suara azan dari desa sebelah. Mobil sewaan yang kami tumpangi dari Kolaka berhenti di depan rumah Pak Desa. Bergegas, 18 orang anggota tim menurunkan ransel-ransel dan barang bawaan lainnya. Di sekitar kami, mulai berkumpul anak – anak kecil dan beberapa gadis remaja.

Ternyata, kehadiran rombongan yang hendak mendaki Gunung Mekongga sangat menarik perhatian mereka. Sementara itu kami memandangi barisan pegunungan Mekongga berdiri dengan megah. Indah, namun sunyi dan menyimpan misteri.

“Mari, silakan masuk!” ujar Bu Desa ramah menyambut rombongan. Kami pun bergegas menata barang dan kemudian mandi di sungai Aala Ranteangin yang jernih dan segar. Sebagai satu – satunya kaum hawa, saya dipersilakan membersihkan diri di kamar mandi Bu Tato yang tinggal di seberang Bu Desa. Airnya toh sama segar, langsung dari gunung.

Malam itu kami berbincang – bincang dengan Pak Desa yang ramah. Ia banyak bercerita mengenai Mekongga. Berbagai cerita tersebut semakin menambah semangat mendaki sampai ke puncak dan menggelar upacara 17 Agustus di sana.

Senin, 13 Agustus 2001. Seluruh anggota tim telah siap berangkat. Kami berdoa bersama di halaman rumah Bu Tato. Canda tawa terselip di sela – sela keheningan. Kami berpegangan tangan membentuk lingkaran. Kemudian berdoa bersama – sama, memohon kemudahan dan keselamatan.

Pendakian bersama kali ini diikuti 18 orang dari berbagai kelompok Pencinta Alam. Ada 4 orang dari Mahacala Unhalu, 1 orang dari Navernos FE Unhalu, 2 dari IKAMI – SS Kendari, 3 dari Pasific FISIP Unhalu, 2 dari Matepala Universitas Pattimura Ambon, dan saya sendiri bersama 5 teman dari KMPA “Ganesha” ITB. Berbagai latar belakang tadi disatukan oleh satu keinginan mendaki puncak Mekongga. Kami adalah satu tim, begitu tekadnya.

Jam tangan saya menunjukkan waktu pukul 8.00 WITA. Kami memulai perjalanan meninggalkan rumah Bu Tato. Pak Desa ikut melepas sambil tak lupa menasihati kami untuk berhati – hati. Lambaian tangan penduduk desa hangat melepas kami.

Sehabis jalan aspal desa, kami memasuki jalan setapak di tengah kebun cokelat. Perjalanan belum mendapat hambatan berarti. Tak lama kami menemukan sungai cukup lebar, kurang lebih 10 meter, dengan arus cukup deras. Mau tak mau rombongan harus menyeberanginya. Aksi gulung celana tinggi – tinggi dilakukan dan air sungai sebatas paha itu kami lewati.

Lintasan selanjutnya mulai berbahaya. Kami terus menyusuri sungai melewati jalan setapak penebang rotan. Tak jarang kami harus melintas di tebing licin di sepanjang sungai. Teman saya, Billy, sempat merasakan jatuh bebas dari tebing. Untung cideranya tak serius dan dia masih bisa berjalan.

Bila dihitung – hitung, kami menyeberangi sungai sebanyak 4 kali. Menjelang tengah hari, kami tiba di pertemuan dua sungai, yaitu Aala Mosembo dan Aala Tinukari yang jernih dan menyegarkan. Aala artinya sungai dalam bahasa Tolaki.

Panas terik di ketinggian 100 m dpl itu tak muncul lagi. Kami mandi sejenak membasuh keringat yang membasahi tubuh. Perjalanan dihentikan untuk beristirahat makan siang dan ganti pakaian. Maklum, selepas ini kami mulai masuk hutan. Celana pendek dan sandal terpaksa masuk ransel.

Sejak saat ini anggota tim bertambah satu. Ada seekor anjing yang mengikuti kami. Cai, teman dari Unpati, memberinya nama Bram. Anjing kampung berwarna cokelat itu pun resmi masuk tim.

Sekitar pukul 12 siang, kami mulai bergerak kembali. Jalur semakin menggila. Tanjakan terus tanpa bonus. Perlahan – lahan kami menapaki jalan penebang rotan tersebut. Terik matahari makin memperlambat langkah. Vegetasi yang dominan adalah rotan dan tanaman perdu, khas hutan tropis.

Dua jam kemudian kami tiba di jalan HBI, yaitu perusahaan kayu yang pernah beroperasi sejak 1996. Karena protes masyarakat akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, perusahaan ini gulung tikar 1999 lalu. Kalau tidak, entah apa jadinya hutan indah ini.

Perjalanan mulai menyenangkan kembali. Canda tawa mulai terdengar. Kami menyusuri bekas – bekas jalan HBI yang sekarang sudah tertutup. Ilalang dan rotan menemani langkah kami bersama jejak – jejak kotoran sapi. Sapi siapa di tengah hutan begini? Saya teringat cerita Pak Ali, sesepuh desa Tinukari. Menurut beliau, dulu di zaman DI/TII, sapi – sapi dilepas ke hutan sebagai ransum makanan untuk gerombolan yang bersembunyi di hutan. Jadi, mungkin saja sapi – sapi itu keturunan sapi zaman perang dulu.

Pukul 4 sore kami tiba di ketinggian 490 m dpl. Di sana ada sebuah pondok kayu milik perotan. Kami memutuskan untuk membuat perkemahan. Kami menyebutnya sebagai camp 1. Ah, senang rasanya bisa melepas ransel yang telah disandang seharian. Apalagi kami disambut suguhan udang goreng dan nasi merah yang rasanya selangit. Enak betul di tengah hutan makan udang, gratis lagi.

Malam itu kami sempat berbincang – bincang. Evaluasi perjalanan hari pertama dan membahas rencana esok. Dari pondok terdengar lantunan lagu – lagu Bugis lewat radio. Sungguh kehidupan yang sederhana!

Keesokan harinya, seperti biasa kami bergegas sarapan dan mengepak bawaan. Gara – gara keasyikan mengobrol tadi malam, beberapa teman terlambat bangun. Perjalanan sempat mundur setengah jam. Kami kembali menyusuri jalan HBI. Ketinggian bertambah sedikit demi sedikit.

Jalan HBI yang kami lewati kebanyakan sudah longsor dan tertutup semak. Di ketinggian 1000 m, panorama mulai terbuka. Vegetasi tumbuhan kayu mulai bertambah, ada perdu, lumut, dan kantong semar. Di sebelah timur tampak jajaran perbukitan Mekongga yang menjari ke mana – mana.

Pada hari kedua, kami merencanakan mendaki hingga ketinggian 1.480 m dpl atau menuju camp 2. Tentu bukan sesuatu yang mudah. Jalurnya membosankan dan terus menanjak. Untunglah mitos yang kami dengar tidak terjadi. Menurut penduduk, kalau ada orang baru yang mendaki Mekongga pasti disambut hujan lebat. Tapi, siang itu kami tidak kehujanan. Padahal, cuaca mendung dan awan hitam mengikuti. Alam ternyata masih bersahabat.

Malam itu, sesudah evaluasi, kami putuskan untuk segera beristirahat. Menurut plot jalur di peta yang kami bawa, jalur besok akan semakin menggila. Kami merencanakan untuk tiba di camp 3 pada ketinggian 2.520 m dpl.

Perjalanan hari ketiga mulai bervariasi. Menjelang tengah hari, di ketinggian 1.900 m dpl, kami mulai meninggalkan jalan HBI. Di kejauhan tampak Osu Mosembo tertutup kabut. Osu dalam bahasa Tolaki berarti gunung.

Sejak saat ini pergerakan ditentukan sudut kompas dan titik ketinggian berdasarkan jalur yang direncanakan. Peta topografi skala 1 : 50.000 dari Bakosurtanal cukup membantu walau kadang menipu. Banyak sekali punggungan tidak terpetakan. Pegunungan Mekongga yang menjari ke mana – kemana itu bisa menyesatkan kalau kami salah memilihnya.

Jalur naik – turun punggungan memang melelahkan. Lumut dan cantigi mulai menutup jalan dan pohon perdu. Vegetasi khas daerah subalpine atau lahan dengan ketinggian lebih tinggi dari 2.000 m dpl.

Sekitar pukul 2 siang, kami memasuki kompleks bebatuan yang disebut Musero – sero di ketinggian 2.320 m dpl. Inilah tempat yang diyakini sebagai pusat kerajaan jin untuk daerah Kolaka Utara.

Di tempat kami beristirahat terdapat tumpukan batuan menyerupai meriam. Moncongnya mengarah ke “Kabah” , sementara tebing batunya nun jauh di sebelah timur. Menjelang senja sering terdengar suara azan dari Kabah. Banyak cerita tentang lokasi ini.

Pukul setengah lima sore kami tiba di camp 3, berupa puncak punggungan seluas lapangan bulutangkis. Sepanjang perjalanan, kami memasang string line untuk petunjuk jalan sambil merapikan jalur pendakian. Ketinggian 2.520 m dpl, tinggal 100 meter lagi menuju puncak. Di kejauhan tampak puncak Mekongga yang berbentuk kubah batu menatap kami. Sungguh perjalanan panjang. Kami masih harus melewati beberapa punggungan tipis untuk tiba di sana.

Saat evaluasi, kami memutuskan untuk beristirahat sehari sebelum melakukan summit attack pada 17 Agustus. Keesokan harinya kami manfaatkan untuk beristirahat total. Ternyata serangan kutu babi selama pendakian cukup dahsyat. Kutu – kutu tersebut menyerang dengan ganas ke seluruh tubuh. Menimbulkan gatal – gatal yang membuat kita ingin menggaruknya terus. Seluruh tubuh penuh dengan bintik merah. Pertolongan pertamanya harus puas dengan bedak antiseptik. Lumayan juga kenang – kenangan Mekongga ini.

Pada Jumat, 17 Agustus 2001, kami menuju puncak. Pukul 8 pagi seperti biasa kami berdoa bersama sebelum memulai perjalanan. Pergerakan cukup cepat karena kami hanya membawa daypack . Pergerakan masih berdasarkan sudut kompas dan titik ketinggian.

Di sini terbukti bahwa Mekongga memang indah. Cantigi dan lumut yang hijau menyejukkan pandangan. Di kejauhan puncak – puncak batu gamping memanggil – manggil untuk menuju ke arahnya. Kami terus berjalan berpindah – pindah punggungan. Mendekati puncak terdengar gonggongan Bram. Ternyata ia berpapasan dengan anoa.

Saya sempat melihat bayangan hitam berlari kencang ke bawah. Semua berebut ingin melihatnya. Memang sejak ketinggian 2.000 m dpl kami banyak menemukan jejak kotoran anoa, hewan endemik khas Sulawesi. Sesuatu yang aneh karena menurut literatur, anoa hanya bisa hidup di ketinggian 1.000 m, tapi ternyata di Mekongga, ia bisa sampai ke puncak.

Akhirnya pukul 11 siang seluruh tim tiba di puncak. Kami segera menghubungi pesawat – pesawat radio Kendari dan Ujung Pandang melalui pesawat HT. Puncak Mekongga merupakan kompleks bebatuan tajam yang luas. Untuk menuju puncak, kita harus memanjat tebing dengan batu lepas – lepas. Di puncak inilah kami melakukan pengibaran bendera Merah Putih, yang dilanjutkan dengan upacara dan doa bersama. Doa penuh syukur dan harapan untuk bangsa ini.

Selepas makan siang, kami kembali turun ke camp 3, mengikuti string line yang kami buat sewaktu naik. Tapi, ada juga beberapa teman yang tersesat. Untung kami dapat kembali ke camp sebelum gelap.

Dua hari berikutnya kami tiba kembali di desa Tinukari. Kami disambut Pak Desa dan Bu Desa dengan senyuman ramah. Malamnya kami makan opor ayam buatan Bu Desa. Beliau sengaja memotong 5 ekor ayam untuk menyambut kami. Tuntas sudah perjalanan kali ini. ms hendrawati